A Beautiful Mind: Sebuah Kasus Schizophrenia


Belum lama ini saya menonton sebuah film jadoel, yaitu A Beautiful Mind. Film tersebut cukup menarik. Namun demikian, di mana menariknya film tersebut tidak akan saya sampaikan di sini, melainkan dalam tulisan/artikel yang saya buat setelah saya menonton film tersebut. Adapun artikel tersebut adalah sebagai berikut.

A Beautiful Mind: Sebuah Kasus Schizophrenia,
Antara Kenyataan (Reality) dan Khayalan (Imagination)

Film A Beautiful Mind (ABM) berkisah tentang seseorang peraih nobel, John Forbes Nash , yang menderita schizophrenia. Tokoh-tokoh yang ada dalam ABM adalah John F. Nash (Russell Crowe)–sebagai tokoh utama, Alicia Nash (Jennifer Connelly)–sebagai istri John, Dr. Rosen (Christopher Plummer)–sebagai dokter yang merawat John, Parcher (Ed Harris)–sebagai agen rahasia khayalan, Charles (Paul Bettany)–sebagai teman sekamar khayalan, dan Marcee (Vivien Cardone)–sebagai gadis kecil khayalan. Inti cerita dari film ini adalah seseorang yang menderita schizophrenia, yaitu suatu penyakit kejiwaan/psikologis, yang didefinisikan sebagai berikut.

Schizophrenia, severe psychotic disorder characterized by a loss of contact with reality and disintegration of the personality (penghancuran kepribadian). Schizophrenia, any of a group of severe mental disorders that have in common such symptoms as hallucinations, delusions (ilusi), blunted emotions (emosi yang tidak jelas atau tumpul), disordered thinking, and a withdrawal from reality.

Penyakit ini dianggap sebagai suatu penyakit yang serius, yang ciri-cirinya antara lain berupa kekacauan kepribadian seseorang yang ditandai dengan “hilang”-nya hubungan dirinya dengan dunia realitas. Tanda-tanda umum dari penyakit mental ini antara lain adalah halusinasi, ilusi, kekacauan pikiran, dan penarikan diri dari realitas. Sebagai pembanding, penyakit yang dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut.

The schizophrenic is like a man permanently under the influence of mescalin (semacam minuman beralkohol), and therefore unable to shut off the experience of a reality which he is not holy enough to live with (Aldous Huxley, British novelist and essayist).

Seseorang yang berada dalam pengaruh alkohol (baca: mabuk) akan bertindak secara tidak sadar. Akan tetapi, pengaruh itu dapat hilang dalam beberapa waktu ke depan. Sementara itu, penyakit schizophrenia adalah keberadaan seseorang dalam kondisi “mabuk” yang berkepanjangan dan tak berkesudahan. Dengan cara lain schizophrenia dapat juga dianalogikan sebagai berikut.

If you talk to God, you are praying; if God talks to you, you have schizophrenia. If the dead talk to you, you are a spiritualist; if God talks to you, you are a schizophrenic (Thomas Szasz, Hungarian-born U.S. psychiatrist).

Disampaikan di atas bahwa jika anda berbicara kepada Tuhan, hal itu disebut berdoa. Akan tetapi, jika Tuhan berbicara kepadamu, hal itu menandakan bahwa anda menderita schizophrenia. Selanjutnya, jika anda (mampu) berbicara dengan arwah, hal itu menandakan bahwa anda dapat disebut sebagai cenayang, dukun, atau “orang pinter”. Namun, jika Tuhan berbicara kepadamu, hal itu menandakan anda “layak” disebut sebagai penderita schizophrenia.

Akibat penyakit ini, John Nash terus-menerus mengalami kehidupan yang tercampur aduk, antara dunia realitas dan dunia khayalan, bahkan hingga ia menerima hadiah nobel—di bagian akhir film. Adapun khayalan-khalalan yang dialaminya secara umum dapat dibagi menjadi tiga, berdasarkan dengan “siapa” ia mengalaminya, yaitu (1) khayalannya bersama Parcher tentang misi rahasia yang ditugaskan pemerintah kepadanya; (2) khayalannya bersama Charles; (3) khayalannya bersama Marcee.

Khayalan John Nash bersama Parcher membawa dirinya kepada petualangan militer yang serba rahasia. Ia mendapat tugas sebagai agen pemecah kode. Tugasnya adalah memecahkan kode rahasia tentang keberadaan bom milik Rusia yang kabarnya akan diledakkan di Amerika. Dalam hal ini, ia harus memecahkan kode-kode rahasia untuk mengetahui di mana bom itu akan diledakkan. Berbagai khayalan pun tercipta sehubungan dengan kasus ini. Misalnya ia harus menerjemahkan kode-kode yang konon terdapat di surat kabar dan majalah. Ia juga harus mengirimkan kode-kode itu—yang telah berhasil ia pecahkan—ke suatu tempat rahasia, pada cerita selanjutnya diketahui bahwa kode-kode itu tidak pernah diambil oleh siapapun.

Adapun khayalannya bersama Charles adalah bahwa John menganggap Charles sebagai teman sekamarnya, padahal sesungguhnya ia tinggal sendiri di kamar asramanya. Ketika ia dibawa oleh petugas (perawat) ke rumah sakit jiwa untuk menjalani perawatan, John menganggap dirinya ditangkap oleh agen rahasia Rusia. Selanjutnya, ketika ia melihat Charles berada di sana, ia mengganggap bahwa Charles-lah yang telah membocorkan rahasia tentang dirinya karena Charles adalah teman sekamarnya yang tahu banyak tentang apa yang dia kerjakan. Diceritakan bahwa John tetap berkeras bahwa agen Rusialah yang menangkapnya, padahal kejadian realitas yang sesungguhnya adalah John dibawa ke RSJ karena dianggap telah menderita schizophrenia.

Sementara itu, hubungan film ABM dengan studi psikoanalisis Lacan adalah sebagai berikut. Lacan menyampaikan tiga macam “dunia” yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu dunia realitas, dunia imajinasi/khayalan, dan dunia simbolik. Dalam ABM, tokoh John mengalami ketiga dunia itu secara bersamaan. Dunia real adalah di mana dia hidup dengan istri dan anaknya, serta kehidupannya sebagai dosen di universitas. Dunia imajinasi/khayalan adalah tempat dia mengalami kehidupan bersama Parcher, Charles, dan Marcee; termasuk kehidupannya sebagai seorang agen rahasia yang bertugas untuk memecahkan kode-kode rahasia Rusia. Sementara itu, dunia simbolik yang dialami John adalah ketika dia merasa menjadi seorang agen rahasia. Konsekuensi dari profesinya sebagai agen telah “ditentukan”, antara lain bertugas memecahkan kode rahasia, tidak membuka identitas dirinya, melakukan segala sesuatu dengan penuh kerahasiaan, dan menjalani hidup yang penuh dengan kekerasan. (bener gak yach???)

—————————–
Info tambahan:

Schizophrenia is a psychotic state characterized by withdrawal from the world of reality and a retreat into fantasy, hallucinations, delusions, aberrant ideas associated with egocentricity, and various phases of excitement or stupor. Contemporary research is concerned with the possibility of basically differentiating normal subjects and schizophrenics by organic methods. With this goal as the stimulus, investigations include blood studies for clotting time, glutamic acid content and levels, copper, ceruloplasmin (the blood enzyme that binds body copper), high insulin, lack of vitamin A, and low oxygen. Unfortunately there is a lack of specificity in these factors. For example, high ceruloplasm levels are also found where there is intensive cellular growth, as in pregnancy and malignant tumors, and in any nonspecific state of stress such as in surgery. Ultrasonic recording of blood changes as a diagnostic differential between psychotics and nonpsychotics has proved to be about 70 per cent accurate for the former and 80 per cent for the latter. However, some specificity has been indicated in another area. Researchers at Tulane University recently isolated taraxein, a protein fraction in the bloodstream of schizophrenics which, injected into normal subjects, could produce a short psychotic state not unlike schizophrenia. (Encarta ® Reference Library 2005). All left reserved). Schizophrenic (Psychology) one who suffers from schizophrenia (severe psychotic disorder).

Nash, John F., Jr. (1928- ), American mathematician and corecipient of the 1994 Nobel Prize in economics for his pioneering work in game theory. Nash shared the Nobel Prize with American economist John C. Harsanyi and German mathematician and economist Reinhard Selten. Nash was born in 1928 in Bluefield, West Virginia. In 1948 he graduated from Carnegie Institute of Technology (now Carnegie Mellon University) in Pittsburgh, Pennsylvania, receiving both his bachelor’s and master’s degrees in mathematics because of his unusual brilliance. He received his doctorate from Princeton University in Princeton, New Jersey, in 1950. Professors at both schools labeled him a genius. Nash joined the faculty of the Massachusetts Institute of Technology in Cambridge from 1951 to 1959, but he resigned due to bouts with mental illness. He was diagnosed with schizophrenia. After brief stays in mental hospitals and a brief sojourn to Europe, Nash began an informal association with Princeton University, maintaining an office in Fine Hall—the building that houses the Department of Mathematics—but without holding a faculty position (Encarta ® Reference Library 2005)